Kamis, 16 Juli 2015

Dentuman Kepedihan


Dentuman Kepedihan
Pada puasa malam ke-29 ini, bersyukur sekali aku masih diberikan hidangan dari langit melalui tangan-tangan mahluk bumi yang dengan proses cukup panjang hingga sampai ke depanku.

Es timun suri nan manis dan segar menyiram dahaga yang bersemayam di tenggorokanku sedari siang tadi, gorengan pinggir jalan mampu menghibur cacing-cacing yang berdendang dalam perutku.

Puasa tahun ini amat cepat berlalu, mungkin karena aku kurang berkawan baik dengan ramadhan tahun ini hingga ia tak meninggalkan kesan mendalam bagiku. Ramadhan bukan hanya tentang puasa dan zakat, tetapi bulan yang diberikan oleh Sang Khaliq kepada manusia untuk kembali ke fitri.

Seusai melahap kudapan dengan penuh rasa bahagia, kulayangkan puja-puji syukur kehadirat Ilahi dalam rangkaian ibadah solat magrib. Aku yang tengah duduk bersila diatas sajadah di lantai dua rumah ibuku mulai memejamkan mata tuk sejenak menafakuri sudah berapa kali ramadhan yang kulalui, sejak kapan aku mulai berpuasa, apakah dengan puasa mengubahku menjadi lebih baik, hingga seterusnya.

Fokusku hilang lantaran dentuman yang bersumber dari berbagai arah, seolah alat musik yang dipukul bertalu-talu, suara dentuman itu saling bersambut menggangguku. Ohh ya aku baru ingat bahwa ini malam takbiran yang ditunggu oleh setiap muslim diseluruh dunia, dan dirayakan oleh muslim Indonesia dengan meriahnya suara petasan dan kembang api.

Ada sesuatu yang mengajak pikiranku tuk melihat beberapa kejadian yang mungkin terekam memori otakku entah dengan sengaja maupun tidak sengaja, rupanya kami terhenti pada konflik yang mendera Iraq-suriah, ya aku ingat betul suara dentuman ini pernah kudengar sebelumnya dalam perang saudara yang berlangsung di jalur Gaza walaupun tidak mendengar secara langsung, diatas sajadah aku merasakan hawa mencekam dengan iringan suara dentuman di sekitar rumahku dan proyeksi pikiranku yang berada di tengah konflik dua Negara bertetangga tersebut. Dentuman di Indonesia menyisakan suka dengan kembang apinya, dentuman di Syiria menyisakan duka dengan rudalnya.



Kurasakan penuh ketegangan dalam kilasan gambar dalam pikiranku, tangis dan airmata menghias wajah wanita dan anak-anak sejauh mata memandang, darah dan kematian sudah bukan hal aneh dan dapat dijumpai sepanjang kisah pertikaian dua Negara tersebut.



Ketiadaan sandang dan pangan jelas menghantui, jangankan untuk ibadah dengan tenang, untuk bertahan hidup pun mereka sulit. Tanganku mulai dingin membeku, keringat dingin mengucur dari leher ke arah pundak, badan ini bergetar menolak dengan  halus pikiranku yang mulai mengamati satu-persatu korban yang bergeletakan dengan organ tubuh yang tidak lengkap, tak kuat lagi rasanya. Padahal aku hanya merasakan sensasi berada di tengah perang yang hingga hari ini masih terus berlangsung, bagaimana bila aku yang berada di posisi mereka?

Dengan suara dentuman petasan ini saja aku sudah merasa terganggu, apa kabar saudara-saudara kita di suriah sana yang setiap malam nya mendengar dentuman senjata api dan rudal yang siap membinasakan mereka kapanpun dan dimanapun. Tidak ada tempat sembunyi dan berlindung bagi mereka selain pada naungan Allah SWT.

Bisa kita sedikit memposisikan diri bila menjadi mereka yang berpuasa dan berlebaran dengan situasi yang mencekam? Apakah masih sempat bagi kita untuk membuat ketupat ataupun menyalakan petasan atau malah mencari baju lebaran.

Ditambah lagi mengapa umat muslim Indonesia dipusingkan dengan Islam Nusantara? Islam yang hidup dan membesar di bumi nusantara dikatakan Islam Nusantara kenapa di permasalahkan, biarlah Islam menjadi rahmatan lil alamin di semua wilayah di dunia. Islam Nusantara bernuansa damai dengan tenggang rasa yang terhitung tinggi tanpa kekerasan dan pebuh cinta.

Islam Nusantara itu bukan milik NU, Muhammadiyah, Naqsabandiyah, atau MUI, tapi milik kaum muslim di bumi Nusantara. Masih banyak hal lain yang musti diurusi, saudara-saudara muslim kita yang berada di Negara konflik itu apa sudah kita pikirkan? Setidaknya mari kita kirimkan doa untuk mereka supaya dapat berlebaran dengan damai dan tentram, itu yang jauh lebih penting bagi mereka tinimbang meributkan nama belaka.

Islam yang hidup di Nusantara inilah yang dirindukan oleh mereka. Cukup kita menjadi muslim yang memegang budaya nusantara tanpa harus menjadi muslim timur tengah dengan segala budayanya. Salam rindu untuk muslim seluruh dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar