Dentuman Kepedihan
Pada puasa malam ke-29 ini, bersyukur sekali aku masih
diberikan hidangan dari langit melalui tangan-tangan mahluk bumi yang dengan
proses cukup panjang hingga sampai ke depanku.
Es timun suri nan manis dan segar menyiram dahaga yang
bersemayam di tenggorokanku sedari siang tadi, gorengan pinggir jalan mampu
menghibur cacing-cacing yang berdendang dalam perutku.
Puasa tahun ini amat cepat berlalu, mungkin karena aku
kurang berkawan baik dengan ramadhan tahun ini hingga ia tak meninggalkan kesan
mendalam bagiku. Ramadhan bukan hanya tentang puasa dan zakat, tetapi bulan
yang diberikan oleh Sang Khaliq kepada manusia untuk kembali ke fitri.
Seusai melahap kudapan dengan penuh rasa bahagia,
kulayangkan puja-puji syukur kehadirat Ilahi dalam rangkaian ibadah solat
magrib. Aku yang tengah duduk bersila diatas sajadah di lantai dua rumah ibuku
mulai memejamkan mata tuk sejenak menafakuri sudah berapa kali ramadhan yang
kulalui, sejak kapan aku mulai berpuasa, apakah dengan puasa mengubahku
menjadi lebih baik, hingga seterusnya.
Fokusku hilang lantaran dentuman yang bersumber dari
berbagai arah, seolah alat musik yang dipukul bertalu-talu, suara dentuman itu
saling bersambut menggangguku. Ohh ya aku baru ingat bahwa ini malam takbiran
yang ditunggu oleh setiap muslim diseluruh dunia, dan dirayakan oleh muslim
Indonesia dengan meriahnya suara petasan dan kembang api.
Ada sesuatu yang mengajak pikiranku tuk melihat beberapa kejadian
yang mungkin terekam memori otakku entah dengan sengaja maupun tidak sengaja, rupanya
kami terhenti pada konflik yang mendera Iraq-suriah, ya aku ingat betul suara
dentuman ini pernah kudengar sebelumnya dalam perang saudara yang berlangsung
di jalur Gaza walaupun tidak mendengar secara langsung, diatas sajadah aku
merasakan hawa mencekam dengan iringan suara dentuman di sekitar rumahku dan
proyeksi pikiranku yang berada di tengah konflik dua Negara bertetangga
tersebut. Dentuman di Indonesia menyisakan suka dengan kembang apinya, dentuman di Syiria menyisakan duka dengan rudalnya.
Kurasakan penuh ketegangan dalam kilasan gambar dalam
pikiranku, tangis dan airmata menghias wajah wanita dan anak-anak sejauh mata
memandang, darah dan kematian sudah bukan hal aneh dan dapat dijumpai sepanjang
kisah pertikaian dua Negara tersebut.
Ketiadaan sandang dan pangan jelas menghantui, jangankan untuk ibadah dengan tenang, untuk bertahan hidup pun mereka sulit. Tanganku mulai dingin membeku, keringat dingin mengucur dari leher ke arah pundak, badan ini bergetar menolak dengan halus pikiranku yang mulai mengamati satu-persatu korban yang bergeletakan dengan organ tubuh yang tidak lengkap, tak kuat lagi rasanya. Padahal aku hanya merasakan sensasi berada di tengah perang yang hingga hari ini masih terus berlangsung, bagaimana bila aku yang berada di posisi mereka?
Ketiadaan sandang dan pangan jelas menghantui, jangankan untuk ibadah dengan tenang, untuk bertahan hidup pun mereka sulit. Tanganku mulai dingin membeku, keringat dingin mengucur dari leher ke arah pundak, badan ini bergetar menolak dengan halus pikiranku yang mulai mengamati satu-persatu korban yang bergeletakan dengan organ tubuh yang tidak lengkap, tak kuat lagi rasanya. Padahal aku hanya merasakan sensasi berada di tengah perang yang hingga hari ini masih terus berlangsung, bagaimana bila aku yang berada di posisi mereka?
Dengan suara dentuman petasan ini saja aku
sudah merasa terganggu, apa kabar saudara-saudara kita di suriah sana yang
setiap malam nya mendengar dentuman senjata api dan rudal yang siap
membinasakan mereka kapanpun dan dimanapun. Tidak ada tempat sembunyi dan
berlindung bagi mereka selain pada naungan Allah SWT.
Bisa kita sedikit memposisikan diri bila menjadi mereka yang
berpuasa dan berlebaran dengan situasi yang mencekam? Apakah masih sempat bagi
kita untuk membuat ketupat ataupun menyalakan petasan atau malah mencari baju
lebaran.
Ditambah lagi mengapa umat muslim Indonesia dipusingkan
dengan Islam Nusantara? Islam yang hidup dan membesar di bumi nusantara
dikatakan Islam Nusantara kenapa di permasalahkan, biarlah Islam menjadi
rahmatan lil alamin di semua wilayah di dunia. Islam Nusantara bernuansa damai
dengan tenggang rasa yang terhitung tinggi tanpa kekerasan dan pebuh cinta.
Islam Nusantara itu bukan milik NU, Muhammadiyah,
Naqsabandiyah, atau MUI, tapi milik kaum muslim di bumi Nusantara. Masih banyak
hal lain yang musti diurusi, saudara-saudara muslim kita yang berada di Negara
konflik itu apa sudah kita pikirkan? Setidaknya mari kita kirimkan doa untuk
mereka supaya dapat berlebaran dengan damai dan tentram, itu yang jauh lebih
penting bagi mereka tinimbang meributkan nama belaka.
Islam yang hidup di Nusantara inilah yang dirindukan oleh
mereka. Cukup kita menjadi muslim yang memegang budaya nusantara tanpa harus
menjadi muslim timur tengah dengan segala budayanya. Salam rindu untuk muslim seluruh dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar