Sebuah Surat Bernama "Rindu"
Bapak, Sebelumnya
izinkan Mas meminta maaf terlebih dahulu atas segala salah dan khilaf yang
pernah diperbuat. Maaf juga bila selama ini tidak banyak waktu yang bisa Mas luangkan
tuk sekadar bercengkerama atau mendengar nasihat darimu.
Sebagai anak
tertua di keluarga kita, Mas sadari lebih banyak waktu yang telah kita habiskan
berdua ketimbang adik-adik. Di antara kami berempat, rasanya Mas yang paling
mengerti bagaimana kerjakeras Bapak selama ini demi menegakkan pilar-pilar rumah
tangga keluarga kita, membanting tulang siang dan malam demi menghidupi kami
berempat, membangun akhlak kami dengan telaten dan sabar melalui nasihat dan majelis
tadarus Al-Quran yang Bapak sempatkan selepas Maghrib.
Seiring Mas beranjak
remaja, ego sebagai pria sering memunculkan kerikil di antara kita. Perbedaan
pendapat dan rasa amarah pernah menghiasi hari-hari kita. Mas kerap
memberontak, tapi bukan berarti tak cinta.
Menerima sesuatu
yang sangat kita tidak suka, sama halnya seperti yang Mas rasakan saat Bapak memutuskan
bahwa Mas harus meneruskan pendidikan Sekolah Menengah Atas di sebuah pondok
pesantren. Ketidakbebasan, kesepian, keterasingan, kurangnya perhatian dari Bapak,
itu yang tergambar dalam benak Mas dibalik keputusan “pahit” itu. Namun,
sekarang Mas tersadar dan menikmati manfaat dari keputusan yang Bapak buat
beberapa tahun silam.
“Mas, dunia memang
penting, tapi akhirat jauh lebih penting dari dunia dan seisinya,” begitulah
kata Bapak kala itu.
Terenyuh rasanya hati
ini jika mendengar Bapak berbicara seperti itu.
Menimbang ambisi
Mas akan gemerlapnya kehidupan dunia yang ingin diraih. Malu rasanya diri ini
jika disandingkan dengan Bapak yang menomorduakan dunia dengan menomorsatukan
akhirat. Bukan hanya sekadar kata-kata mutiara dari seorang ayah pada anaknya,
tapi hal itu benar-benar Bapak contohkan di depan mata Mas sendiri.
Mas menyadari
betul pendapatanmu per bulan hanya cukup untuk memutar roda perekonomian di
keluarga kita sampai bulan berikutnya datang. Tapi Bapak masih bisa menyisihkan sebagaian rezeki yang diterima
demi berjihad dengan jalan shodaqoh fii
sabilillah.
“Orang kalau
pilih akhirat itu gambarannya kayak beli sapi, Mas. Kita beli sapi (akhirat)
itu pasti dapat talinya (dunia). Kalau beli tali (dunia) apakah dapat sapinya?”
Telah banyak
pengalaman hidup dan petuah Bapak yang meresap di dalam hati ini. Akan Mas
ingat selalu dan jadikan tolok ukur bagaimana seharusnya menyikapi kehidupan
yang fana namun menggoda. Bapak tak usah khawatir lagi Mas akan terjerembab
dalam jurang kenistaan dan kepayahan hidup, selama doa dan ridha Bapak dan Mamah
masih menyertai langkah ini, Mas akan berusaha menjadi manusia yang lebih baik
setiap harinya.
Tak bisa
terbantahkan lagi, sedikit banyak sifat Bapak menurun di dalam diri ini. Sifat-sifat
yang Mas miliki saat ini juga berasal dari Bapak. Baik maupun buruk, Mas telah terima
dengan senang hati. Mas tidak akan melakukan hal yang sekiranya tidak akan Bapak
lakukan, dan akan melakukan apa yang sekiranya akan Bapak lakukan.
Sekarang anak
sulung Bapak ini telah duduk di semester akhir untuk mendapatkan gelar sarjana
dari hasil peluh dan lelah yang Bapak geluti selama bertahun-tahun. Maafkan
bila terkadang Mas terlihat merasa lebih tahu atau bahkan merasa lebih pintar
dari Bapak, hanya karena telah mengenyam pendidikan lebih tinggi dari Bapak,
tidak pernah sedetik pun Mas berpikir seperti itu.
Bapak adalah suri
tauladan yang nyata bagi kami, yang dengan ikhlas membimbing kami hingga hari
ini. Gaya hidup Bapak yang sederhana dan puasa sunnah yang belum putus semenjak
Bapak remaja hingga hari ini, membuat Mas yakin bahwa sosok manusia hebat seperti
Mahatma Gandhi, Plato, atau Aristoteles, jadi tak berarti. Karena bagi Mas,
Bapak adalah sosok yang membumi dan masih bisa dirasakan keberadaannya.
Bapak, usiamu
kini sudah tidak muda lagi. Warna putih sudah mulai bergelayutan di atas
kepalamu. Fisikmu juga tak sekuat saat kau mengajariku caranya bersepeda,
mengenal huruf Hijaiyah dan menggendongku dikala aku menangis, ada kerut di sana-sini
yang engkau tutupi dengan senyuman.
Anak
lelakimu ini memang belum bisa membahagiakan dan membuat Bapak bangga. Tapi, Pak, aku tak pernah alpa
menyebutmu dalam setiap doa.
Maafkan mas, Pak,
bila belum menjadi seorang anak yang baik, yang bisa menuruti semua inginmu.
Bahkan di usia Mas yang sudah menginjak kepala dua ini, Mas belum bisa
menghadirkan kebahagiaan ke dalam hidup Bapak, setidaknya begitulah yang Mas
yakini. Meski mungkin saja bahagia menurut Bapak berbeda dengan yang Mas yakini
selama ini terkait keluarga kita.
Maaf, Mas belum bisa membuat Bapak bangga.
Namun percayalah,
bukan berarti Mas tak berusaha, bukan tak cinta, bukan tak hormat. Sekarang ini
Mas hanya bisa menyebut nama Bapak dan Mamah dalam setiap doa, memohon
kepada-Nya agar Dia senantiasa menjaga Bapak seperti saat engkau menjaga Mas pada
saat aku masih kecil.
Alhamdulillah Jazakumullahu khoiron atas kasih
sayang dan perhatian Bapak sedari dulu hingga hari ini. Bahkan intan dan
berlian yang berkilau sekali pun sukar tuk menandingi pengorbanan Bapak demi
kami anak-anakmu yang tumbuh dengan cinta kasih dan insyaAllah dalam ridhomu
dan ridho Allah Swt. []
Putramu yang
terperosok dalam jurang rindu,
Dimas Ardiyanto.