Senin, 18 Mei 2015

Sebuah Surat Bernama "Rindu"


Sebuah Surat Bernama "Rindu"
Bapak, Sebelumnya izinkan Mas meminta maaf terlebih dahulu atas segala salah dan khilaf yang pernah diperbuat. Maaf juga bila selama ini tidak banyak waktu yang bisa Mas luangkan tuk sekadar bercengkerama atau mendengar nasihat darimu.
Sebagai anak tertua di keluarga kita, Mas sadari lebih banyak waktu yang telah kita habiskan berdua ketimbang adik-adik. Di antara kami berempat, rasanya Mas yang paling mengerti bagaimana kerjakeras Bapak selama ini demi menegakkan pilar-pilar rumah tangga keluarga kita, membanting tulang siang dan malam demi menghidupi kami berempat, membangun akhlak kami dengan telaten dan sabar melalui nasihat dan majelis tadarus Al-Quran yang Bapak sempatkan selepas Maghrib.
Seiring Mas beranjak remaja, ego sebagai pria sering memunculkan kerikil di antara kita. Perbedaan pendapat dan rasa amarah pernah menghiasi hari-hari kita. Mas kerap memberontak, tapi bukan berarti tak cinta.
Menerima sesuatu yang sangat kita tidak suka, sama halnya seperti yang Mas rasakan saat Bapak memutuskan bahwa Mas harus meneruskan pendidikan Sekolah Menengah Atas di sebuah pondok pesantren. Ketidakbebasan, kesepian, keterasingan, kurangnya perhatian dari Bapak, itu yang tergambar dalam benak Mas dibalik keputusan “pahit” itu. Namun, sekarang Mas tersadar dan menikmati manfaat dari keputusan yang Bapak buat beberapa tahun silam.
“Mas, dunia memang penting, tapi akhirat jauh lebih penting dari dunia dan seisinya,” begitulah kata Bapak kala itu.
Terenyuh rasanya hati ini jika mendengar Bapak berbicara seperti itu.
Menimbang ambisi Mas akan gemerlapnya kehidupan dunia yang ingin diraih. Malu rasanya diri ini jika disandingkan dengan Bapak yang menomorduakan dunia dengan menomorsatukan akhirat. Bukan hanya sekadar kata-kata mutiara dari seorang ayah pada anaknya, tapi hal itu benar-benar Bapak contohkan di depan mata Mas sendiri.
Mas menyadari betul pendapatanmu per bulan hanya cukup untuk memutar roda perekonomian di keluarga kita sampai bulan berikutnya datang. Tapi Bapak  masih bisa menyisihkan sebagaian rezeki yang diterima demi berjihad dengan jalan shodaqoh fii sabilillah.
“Orang kalau pilih akhirat itu gambarannya kayak beli sapi, Mas. Kita beli sapi (akhirat) itu pasti dapat talinya (dunia). Kalau beli tali (dunia) apakah dapat sapinya?”
Telah banyak pengalaman hidup dan petuah Bapak yang meresap di dalam hati ini. Akan Mas ingat selalu dan jadikan tolok ukur bagaimana seharusnya menyikapi kehidupan yang fana namun menggoda. Bapak tak usah khawatir lagi Mas akan terjerembab dalam jurang kenistaan dan kepayahan hidup, selama doa dan ridha Bapak dan Mamah masih menyertai langkah ini, Mas akan berusaha menjadi manusia yang lebih baik setiap harinya.
Tak bisa terbantahkan lagi, sedikit banyak sifat Bapak menurun di dalam diri ini. Sifat-sifat yang Mas miliki saat ini juga berasal dari Bapak. Baik maupun buruk, Mas telah terima dengan senang hati. Mas tidak akan melakukan hal yang sekiranya tidak akan Bapak lakukan, dan akan melakukan apa yang sekiranya akan Bapak lakukan.
Sekarang anak sulung Bapak ini telah duduk di semester akhir untuk mendapatkan gelar sarjana dari hasil peluh dan lelah yang Bapak geluti selama bertahun-tahun. Maafkan bila terkadang Mas terlihat merasa lebih tahu atau bahkan merasa lebih pintar dari Bapak, hanya karena telah mengenyam pendidikan lebih tinggi dari Bapak, tidak pernah sedetik pun Mas berpikir seperti itu.
Bapak adalah suri tauladan yang nyata bagi kami, yang dengan ikhlas membimbing kami hingga hari ini. Gaya hidup Bapak yang sederhana dan puasa sunnah yang belum putus semenjak Bapak remaja hingga hari ini, membuat Mas yakin bahwa sosok manusia hebat seperti Mahatma Gandhi, Plato, atau Aristoteles, jadi tak berarti. Karena bagi Mas, Bapak adalah sosok yang membumi dan masih bisa dirasakan keberadaannya.
Bapak, usiamu kini sudah tidak muda lagi. Warna putih sudah mulai bergelayutan di atas kepalamu. Fisikmu juga tak sekuat saat kau mengajariku caranya bersepeda, mengenal huruf Hijaiyah dan menggendongku dikala aku menangis, ada kerut di sana-sini yang engkau tutupi dengan senyuman.
Anak lelakimu ini memang belum bisa membahagiakan dan membuat Bapak  bangga. Tapi, Pak, aku tak pernah alpa menyebutmu dalam setiap doa
Maafkan mas, Pak, bila belum menjadi seorang anak yang baik, yang bisa menuruti semua inginmu. Bahkan di usia Mas yang sudah menginjak kepala dua ini, Mas belum bisa menghadirkan kebahagiaan ke dalam hidup Bapak, setidaknya begitulah yang Mas yakini. Meski mungkin saja bahagia menurut Bapak berbeda dengan yang Mas yakini selama ini terkait keluarga kita.

Maaf, Mas belum bisa membuat Bapak bangga.
Namun percayalah, bukan berarti Mas tak berusaha, bukan tak cinta, bukan tak hormat. Sekarang ini Mas hanya bisa menyebut nama Bapak dan Mamah dalam setiap doa, memohon kepada-Nya agar Dia senantiasa menjaga Bapak seperti saat engkau menjaga Mas pada saat aku masih kecil.
Alhamdulillah Jazakumullahu khoiron atas kasih sayang dan perhatian Bapak sedari dulu hingga hari ini. Bahkan intan dan berlian yang berkilau sekali pun sukar tuk menandingi pengorbanan Bapak demi kami anak-anakmu yang tumbuh dengan cinta kasih dan insyaAllah dalam ridhomu dan ridho Allah Swt. []

Putramu yang terperosok dalam jurang rindu,

Dimas Ardiyanto.